Budaya Kerja Indonesia : Balance di era 5.0
Budaya Kerja Indonesia - Di era serba cepat ini, teman-teman pernah nggak sih merasa seperti terjebak di dalam lingkaran budaya kerja yang toksik?
MinDi yakin, bagi Sobat Dialogi yang sudah lama berkecimpung di dunia kerja, perasaan ini mungkin muncul saat mengejar target atau promosi yang seakan tak pernah ada ujungnya.
Sementara itu, buat teman-teman generasi muda, tekanannya bisa datang dari keinginan untuk diakui oleh atasan atau teman sejawat, sampai-sampai kita rela bekerja non-stop.
Sobat tahu gak? Mindset seperti ini justru dimanfaatkan oleh banyak perusahaan.
Menurut sebuah survei dari Gallup Research, sekitar 60% karyawan merasa perusahaan besar sering memanfaatkan rasa takut mereka terhadap ketidakstabilan pekerjaan untuk membuat mereka bekerja lebih keras.
Belum lagi startup kecil yang janjinya manis, tapi kenyataannya?
Banyak yang bekerja di lingkungan yang nggak mendukung, dengan iming-iming bonus atau promosi yang kadang gak sesuai harapan.
Ada satu solusi yang bisa kita coba, yaitu dengan mencari keseimbangan. Banyak yang salah kaprah, pikir keseimbangan kerja itu soal bagi waktu kerja dan libur dengan porsi yang sama.
Padahal, keseimbangan sebenarnya tentang bagaimana kita bisa tetap produktif tanpa harus merasa "burn out".
Ingat ya, teman-teman, hidup seimbang bukan berarti tanpa tekanan, tapi gimana kita handle tekanan itu
.Sebuah studi lainnya dari Harvard Business Review menemukan bahwa orang-orang yang memiliki keseimbangan kerja cenderung lebih bahagia dan produktif
.
"Jika Anda memasukkan terlalu banyak waktu dalam pekerjaan Anda, Anda akan menyesalinya. Jika Anda terlalu fokus pada pekerjaan, Anda akan kehilangan perasaan kebersamaan dengan keluarga Anda."
Jack Ma, pendiri Alibaba
Sayangnya, banyak di antara teman-teman yang berusaha untuk memperbaiki keseimbangan hidup dengan cara yang tidak berkelanjutan.
Mengambil cuti panjang mungkin terdengar menarik, namun tanpa perubahan gaya hidup, tekanan yang sama akan kembali dirasakan setelah cuti selesai.
Sebelum berbicara tentang membentuk kebiasaan baru untuk menciptakan gaya hidup yang seimbang, ada satu hal fundamental yang perlu kita atasi terlebih dahulu: pola pikir atau mindset.
Pola pikir yang benar, yang berakar pada nilai-nilai positif dan rasa cinta serta hormat pada diri sendiri, merupakan fondasi yang kokoh untuk perubahan yang berkelanjutan.
Tanpa rasa cinta dan penghargaan terhadap diri sendiri, upaya kita mungkin akan terasa setengah hati atau bahkan mengarah pada keputusan yang kurang sehat.
Dengan menanamkan nilai-nilai serta rasa cinta dan hormat pada diri sendiri, kita mempersiapkan diri untuk berkomitmen sepenuhnya pada perjalanan menuju keseimbangan hidup yang sejati.
5 Hal yang Harus Diketahui Sebelumnya
Sebelum mengubah kebiasaan, ada lima hal fundamental yang harus teman-teman yakini:
-
1. Mengutamakan Diri Sendiri BUKAN Kesalahan
Ada pepatah lama, "Kau tak bisa menuangkan dari cangkir yang kosong."
Dengan menjaga diri, kita sesungguhnya mempersiapkan diri untuk memberi yang terbaik di semua aspek kehidupan kita.
Bayangkan seperti saat di pesawat, diminta memasang masker oksigen dulu pada diri sendiri sebelum membantu lainnya; ini semua soal kesejahteraan diri.
-
2. Setiap Orang Pantas Mendapat Waktu Istirahat
Jangan anggap istirahat sebagai pelarian, tapi sebagai investasi.
Otak dan tubuh memang butuh waktu untuk me-refresh diri. Jadi, saat merasa lelah, ingatlah bahwa istirahat adalah hak setiap individu.
-
3. Menarik Garis Batas Bukan Berarti Lemah
Kadang, mengatakan 'tidak' atau menetapkan batasan justru menunjukkan kebijaksanaan kita dalam mengenali kemampuan diri.
Ini bukti kita menghargai diri sendiri dan komitmen kita terhadap pekerjaan berkualitas.
-
4. Fokus pada Kualitas, BUKAN Kuantitas
Di zaman serba cepat ini, gampang terjebak dalam rutinitas menyelesaikan banyak hal sekaligus. Namun, hasil yang berkualitas biasanya lebih berharga dan meninggalkan kesan mendalam.
-
5. Mengakui Kelelahan atau Butuh Bantuan BUKAN Kegagalan
Semua orang punya limit. Saat merasa terjepit atau lelah, mengakui dan meminta bantuan justru menunjukkan kekuatan karakter. Ingat, meminta bantuan bukan tanda lemah, tapi tanda kebijaksanaan.
Baby Steps are Still Steps
Sebagai langkah awal untuk menciptakan keseimbangan, teman-teman bisa memulai dengan perubahan kecil namun berkelanjutan.
-
1. Mengubah Cara Mengakses Email
Dalam era digital, email sering mengganggu produktivitas kita. Dengan menetapkan jadwal khusus untuk cek email, kita bisa fokus pada tugas lain.
Seiring waktu, orang akan mengerti dan menghargai batasan serta rutinitas kita terkait email.
-
2. Menginformasikan Rekan Kerja Tentang Jadwal Khusus:
Dengan berkomunikasi secara terbuka dengan rekan kerja mengenai kapan kita dapat dihubungi dan kapan kita memeriksa email, kita menciptakan batasan yang jelas.
Ini tidak hanya menghormati waktu kita, namun juga memberitahu rekan kerja bahwa kita serius dalam menjalankan tugas dengan efisien.
-
3. Menggunakan Kalimat Penundaan
Terkadang, kita merasa ditekan untuk memberikan jawaban atau keputusan seketika. Namun, penting untuk diingat bahwa kita berhak untuk meminta waktu dalam memproses informasi dan memikirkannya.
Dengan mengatakan, "Saya akan memikirkannya dan kembali kepada Anda," kita memberi diri ruang untuk membuat keputusan yang lebih bijaksana.
-
4. Melakukan Aktivitas yang Meningkatkan Mood di Rumah
Ketika selesai bekerja, penting bagi kita untuk melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan mood dan kesejahteraan mental kita.
Aktivitas seperti berkebun atau berolahraga tidak hanya memberikan manfaat fisik, tetapi juga menjadi sarana meditasi dan relaksasi yang baik.
-
5. Menentukan Area Kerja Khusus di Rumah
Bagi teman-teman yang bekerja dari rumah, memiliki area kerja yang terpisah sangat penting. Hal ini membantu kita dalam membedakan antara waktu bekerja dan waktu beristirahat.
Dengan menentukan area kerja, kita juga dapat meningkatkan fokus dan produktivitas saat bekerja.
-
6. Membuat Ritual Khusus Sebelum dan Sesudah Bekerja
Ritual ini berfungsi sebagai pembatas antara waktu kerja dan waktu pribadi.
Sebagai contoh, berjalan-jalan sebentar sebelum memulai pekerjaan dapat membantu kita untuk mempersiapkan diri secara mental, sementara berjalan-jalan setelah bekerja dapat menjadi cara untuk 'menutup' hari kerja dan memulai waktu pribadi kita.
Kesimpulan
Keseimbangan kerja bukan hanya tentang berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja, tapi bagaimana kita bekerja dan bagaimana kita menjaga kesejahteraan diri sendiri.
Dengan memulai perubahan kecil dan berkelanjutan, kita bisa menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan kehidupan yang lebih seimbang.